Senin, 17 Maret 2014

Perry Pebrianto

Penantian

Malam  biarkan kabut menipis dan menangis
Sebab aku telah meramu dalam patahan rambut
yang belum tuntas meranggas

waktu yang selalu menggenang
kebisuan purnama yang tak kunjung lengang  
ku titipkan gemericiknya
serupa harap dan doa
bersamaNya


Tasikmalaya, 17-10-2013






 Perry Pebrianto

Selepas Hujan

Sampai keheningan,
temaram mengaduk dedak waktu yang mengerak
Di langit-langit kosong tanpa detak

Ada  yang sempat mengenang matamu,
ramu
Dari gedung gedung yang menjulang, 
perang





Perry Pebrianto



INDRA


Tentang malam yang merupa
Bagaimana harus mengisyaratkan rindu sedalam laut dan seluas langit
Jika menanam perih
adalah matamu yang teduh

Diam diam samar itu memunguti ingatan
pada karang yang setia  menunggu ombak lantas menghantam ke tepian beranda
sementara, waktu telah kehilangan kata dan ketiadaan
embun meluka dalam duka
gigil dan menyapa dada

 Tasikmalaya, 17-10-2013













Rabu, 15 Februari 2012

puisi puisi PERRY PEBRIANTO: LEMA SENJA

puisi puisi PERRY PEBRIANTO: LEMA SENJA: PERRY PEBRIANTO LEMA SENJA Untuk: Fitria Indra Rani Ada buih dalam paras yang tak bernada Saat senja memaksa untuk berkata Ku lel...

puisi puisi PERRY PEBRIANTO: LEMA SENJA

puisi puisi PERRY PEBRIANTO: LEMA SENJA: PERRY PEBRIANTO LEMA SENJA Untuk: Fitria Indra Rani Ada buih dalam paras yang tak bernada Saat senja memaksa untuk berkata Ku lel...

puisi puisi PERRY PEBRIANTO: Perry Pebrianto DI KELOPAK MATAMU di kelopak ma...

puisi puisi PERRY PEBRIANTO: Perry Pebrianto

DI KELOPAK MATAMU


di kelopak ma...
: Perry Pebrianto DI KELOPAK MATAMU di kelopak matamu masih menaruh rindu dari gerimis yang menghapus jejak langkahmu melekat menampar pikir...

puisi puisi PERRY PEBRIANTO: CERPEN

puisi puisi PERRY PEBRIANTO: CERPEN: LEMA SENJA Bulan separuh nampak di perapian senja, tapi wajah seseorang yang baru saja meninggalkan gerimis, semakin utuh terl...

CERPEN


LEMA SENJA





Bulan separuh nampak di perapian senja, tapi wajah seseorang yang baru saja meninggalkan gerimis, semakin utuh terlihat sebagai patamorgana yang mengering dan menjadi sebongkah kerinduan. Berjalan pada malam basah. Desir angin yang menutup sore mengantar keheningannya. Kesendiriannya berlalu pada gemuruh sepeda motor dan mobil-mobil yang berlari di jalan cemas. Aku melihatnya sebagai perempuan yang bersujud pada keagungan. Bahkan putihnya cahaya matahari pun takkan sanggup menggambarkan kesucian dan keagungannya dihadapan Tuhan, sedang hatiku terlalu keruh untuk terus menggenggamnya sebagai bidadari yang dititipkan Tuhan pada alam semesta.
Seperti hujan ia menyanyikan nama-Nya, gemuruh menjadi nada dan angin bercerita tentang kisah cintanya yang entah berlabu pada siapa. Pada Tuhan sendiri barang kali. Atau pada ibunya yang selalu ia tinggalkan. Begitu malam memeluk erat tubuhnya, ia baru bisa menyerahkan seluruh jiwanya pada ibu. Atau barang kali cinta itu buat ayah yang meninggalkannya untuk sebuah perencanaan di luar kota.  Berteman lagi dengan buku-buku baru dan mimpi baru.
Suatu malam ia dipertemukan denganku sebagai seorang yang bermata senja. Dengan wajah malu-malu ia tersenyum membalas pandanganku. Tubuhnya penuh gerimis yang telah mengering. Sedang rambutnya masih basah. Dengan lirih ia berkata :
“Tak ada yang bisa kusentuh untuk menjadi gelagat ketika tubuh lemah ini terkulai pada teras mimpi. Lemas. Tubuh yang kupinjam dari negeri senja ini, kini terkapar dalam kerinduanmu, Kekasih. Dalam rinai tangismu yang jauh, aku tak kuasa mengusir rasa sakit yang tak kupesan ini.”
Lalu aku bertanya pada siapa ia berkata. Lantas ia tersenyum.
“Ini untuk Tuhan, aku menyampaikannya melaluimu! Biar rasa perih ini sedikit  menjadi masa lalu yang tercatat sebagai sejarah kehancuran.”
“Jalan itu masih panjang, seperti bentangan rindu yang tak pernah kau temukan!” jawabku lebih lirih.
“Ah, panjangnya kerinduanku takkan ada yang mampu mengukurnya. Bilangan pun tak mampu menghitungnya, juga cahaya yang dipakai menghitung jarak matahari dengan planet tak berani memprediksi berapa tahun cahaya untuk menjangkau kerinduan itu.”
“Lantas di mana letak kerinduanmu berujung?”
“Pada nol kilometer, dari Tuhan.” Jawabnya lantas mengucapkan selamat malam lewat senyumannya yang mengukir waktu.
“Senja telah hampir menua, perjalananku menuju peraduan lelah yang ditunggui ibu cukup memakan waktu. Aku harus pergi!”
“Pergilah selagi angin masih membaca langkah-langkahmu! Selamat malam dan berhati-hatilah dengan jelaga!”
Ia pergi meninggalkan senja. Dibawa angin melewati kabut, menembus malam. Di bawah bulan sajak-sajak berlabu pada jiwanya. Pada setiap nafasnya. Bintang menaruh mimpi, lantas kerinduan itu berlabu di kegelisahan ibunya.
Sepanjang perjalanan itu ia bercerita tentang kisah cinta yang terlunta. Bibirnya yang mendelima merebut bebintang sebagai harta malam paling sunyi. Disimpannya satu-persatu dalam tas gendong yang memeluk erat punggungnya.
“Nasib cintaku seperti angin malam kebisuan, tersangkut di ranting-ranting gelisah, tangan-tangannya terbelenggu jelaga yang menepikan segenap sunyi. Maka segala daya murung memenjarakan tangis.” Ucapnya pada awan yang masih saja menyembunyikan sisa-sisa senja.
“Aku datang padamu malam ini seperti kereta malam yang melengkingkan tangis. Di bawah bulan sepi itu memeluk tubuhku. Merajang. Menelantarkanku dari belaian sukmamu. Seperti sunyi aku tersesat. Dedaun berjatuhan di tepian luka. Pohon-pohon meranggas. Berjalan melintasi rel-rel kepedihan. Meraung, Menyayat perih.” Ucapnya pada ibunya yang menantikan kedatangan itu.
“Kau pulang dengan selamat, Nak. Kegelisahan Ibu selalu melindungimu.” Sahut Ibunya sambil mengusir dingin lewat handuk merah jambu miliknya. Segenap penat ia jatuhkan di pelukan ibu. Mimpi itu kambali menyapanya. Angan-angan itu hadir ditengah-tengah kerinduannya.
“Ibu melihat seberkas cahaya mencoba memaksa masuk ke dalam hatimu. Ada seseorang yang berani memaksa menyapa hatimu. Dalam matanya terpancar seberkas cahaya merah jambu, terus memanggilmu. Hal apa yang mungkin bisa memberimu gelagat?” Ibunya berkata lagi setelah menatap tajam-tajam.
“Segala yang Ibu lihat adalah kesungguhan. Ia ingin memeluk hatiku erat seperti pekat malam merengkuh sunyi, tapi penantiannya membeku. Seluruh darah dalam tubuhnya pun membeku. Sebelum sepi melaut di pangkuannya, ia ingin mencabut warna senja pada mataku, lalu ia mengikatkan benang merah jambu pada hatiku dan berujung pada hatinya. Katanya, dalam bentangan itu ia akan menaruh kata-kata dan sebaris mimpi agar dunia tahu ia telah melukis sebuah perjalanan menuju taman Firdaus.”
“Lantas apa yang kau lantunkan untuk menjawab keinginan itu?”
“Arti malam bagiku adalah keheningan, Ibu, Tempat bintang menari dan bulan menyanyikan kerinduan. Tak ada yang kurindukan selain belaian abadi. Aku takkan jatuh cinta lagi. Aku takut Ia akan menjadi pertapa paling sunyi. Samadi di dalam ruang yang samar-samar dalam jiwaku. Setiap datang malam, aku akan mengingat-Nya sebagai cahaya yang sinarnya terpantulkan kembali. Sedang sinar mentari akan tetap sebagai cahaya sekalipun bertepi di dasar samudera.” Jawabnya tanpa meragukan sesuatu apapun.
“Begitu pengkuh pendirianmu, nak. Bukankah dalam hidup ini Kekasihmu telah menyediakan untukmu dari jiwa yang sama dengan jiwamu. Kau akan bersamanya menelusur jalan yang telah dibentangkan-Nya. Kau tak bisa sendirian.”
“Kesendirianku adalah keramaianku, Ibu.”
“Tapi takkah kaulihat orang-orang di sekelilingmu saling menebar senyum dengan kekasih-kekasihnya?”
“Kekasih-kekasih yang mana Ibu katakan itu?”
“Kekasih yang selalu bersamanya. Kekasih yang menjaganya dari hingar-bingar dunia. Kekasih dalam suka duka.”
“Takkah Ibu tahu siapa kekasih yang memiliki ciri-ciri seperti yang Ibu katakan itu. Kekasih-kekasih yang Ibu lihat sebagai sesorang yang melindungi dari hingar-bingar dunia adalah wakil dari Kekasih Maha Kekasih, seperti Ayah yang mengasihi Ibu. Apakah ia selalu ada menemani Ibu? Terasakah kehadirannya saat ia tengah jauh dari Ibu kini? Ayah kembali berkasih dengan buku-buku baru, dengan angin baru dan berada di sekeliling jiwa-jiwa baru. Tapi Kekasih Yang Maha Kekasih, selalu bersamaku, Ibu. Tak sedetik pun Ia meninggalkanku, melepaskanku dari dunia ini. Ia terus bersamaku, Ibu, dan semakin dekat. Kerinduanku semakin bertambah dan semakin menghilang. Ia akan datang, Ibu. Aku akan bersamanya.” Ucapnya panjang lebar. Matanya terus berkaca-kaca. Kemudian air mata itu jatuh mewakili rasa kebahagiaannya yang masih bernama harapan.
“Ada sesuatau yang kau rasakan sakit di dirimu, nak, hingga kau terlihat terbelenggu?”
“Tidak, Ibu. Aku merasa kerinduanku kian terjawab.”
“Tak semestinya kau berkata tentang kerinduan, anakku.”
“Ya, Ibu. Kerinduanku kian sirna. Aku merasa Ia kian dekat menemaniku. Ibu.....” jawabnya dengan nada yang makin melirih. “Aku ingin mengatakan suatu hal; keluarkan aku dari sebuah ruang asing dalam diri seseorang yang terus memanggilku dengan cahaya yang kuat itu. Karena aku tak bisa melangkah di pelukan cahayanya.”  Tuturnya semakin berdesah.
Ibu mendekat.
Ia memejamkan mata. Tangannya merengkuh tubuh Ibunya. Ia tersenyum dengan mata masih memejam. Tiba-tiba baju yang membungkus tubuh dibagian punggungnya robek dan keluarlah sepasang sayap putih seperti yang dimiliki para malaikat. Pelukan Ibunya semakin erat. Semakin merapat kedua tubuh itu, namun semakin tak berkuasa Ibunya memeluk tubuh itu. Seperti detik waktu, ia terbang meninggalkan Ibunya. Menembus atap rumahnya tanpa merusaknya. Menemui bebintang. Tubuh semampai itu menari-nari di hamparan awan dan taman impian. Bulan yang dihampirinya bermetamorfosis menjadi mahkota, lantas hinggap di atas rambutnya. Melayang. Meninggalkanku.
Aku berteriak memanggil namanya, lantas aku pun berlari entah mengejar ke mana. Yang kuikuti adalah pancaran senyumnya yang kian menerang.