Rabu, 15 Februari 2012
puisi puisi PERRY PEBRIANTO: LEMA SENJA
puisi puisi PERRY PEBRIANTO: LEMA SENJA: PERRY PEBRIANTO LEMA SENJA Untuk: Fitria Indra Rani Ada buih dalam paras yang tak bernada Saat senja memaksa untuk berkata Ku lel...
puisi puisi PERRY PEBRIANTO: LEMA SENJA
puisi puisi PERRY PEBRIANTO: LEMA SENJA: PERRY PEBRIANTO LEMA SENJA Untuk: Fitria Indra Rani Ada buih dalam paras yang tak bernada Saat senja memaksa untuk berkata Ku lel...
puisi puisi PERRY PEBRIANTO: Perry Pebrianto DI KELOPAK MATAMU di kelopak ma...
puisi puisi PERRY PEBRIANTO: Perry Pebrianto
DI KELOPAK MATAMU
di kelopak ma...: Perry Pebrianto DI KELOPAK MATAMU di kelopak matamu masih menaruh rindu dari gerimis yang menghapus jejak langkahmu melekat menampar pikir...
DI KELOPAK MATAMU
di kelopak ma...: Perry Pebrianto DI KELOPAK MATAMU di kelopak matamu masih menaruh rindu dari gerimis yang menghapus jejak langkahmu melekat menampar pikir...
puisi puisi PERRY PEBRIANTO: CERPEN
puisi puisi PERRY PEBRIANTO: CERPEN: LEMA SENJA Bulan separuh nampak di perapian senja, tapi wajah seseorang yang baru saja meninggalkan gerimis, semakin utuh terl...
CERPEN
LEMA SENJA
Bulan separuh nampak di perapian senja, tapi wajah seseorang yang baru saja meninggalkan gerimis, semakin utuh terlihat sebagai patamorgana yang mengering dan menjadi sebongkah kerinduan. Berjalan pada malam basah. Desir angin yang menutup sore mengantar keheningannya. Kesendiriannya berlalu pada gemuruh sepeda motor dan mobil-mobil yang berlari di jalan cemas. Aku melihatnya sebagai perempuan yang bersujud pada keagungan. Bahkan putihnya cahaya matahari pun takkan sanggup menggambarkan kesucian dan keagungannya dihadapan Tuhan, sedang hatiku terlalu keruh untuk terus menggenggamnya sebagai bidadari yang dititipkan Tuhan pada alam semesta.
Seperti hujan ia menyanyikan nama-Nya, gemuruh menjadi nada dan angin bercerita tentang kisah cintanya yang entah berlabu pada siapa. Pada Tuhan sendiri barang kali. Atau pada ibunya yang selalu ia tinggalkan. Begitu malam memeluk erat tubuhnya, ia baru bisa menyerahkan seluruh jiwanya pada ibu. Atau barang kali cinta itu buat ayah yang meninggalkannya untuk sebuah perencanaan di luar kota. Berteman lagi dengan buku-buku baru dan mimpi baru.
Suatu malam ia dipertemukan denganku sebagai seorang yang bermata senja. Dengan wajah malu-malu ia tersenyum membalas pandanganku. Tubuhnya penuh gerimis yang telah mengering. Sedang rambutnya masih basah. Dengan lirih ia berkata :
“Tak ada yang bisa kusentuh untuk menjadi gelagat ketika tubuh lemah ini terkulai pada teras mimpi. Lemas. Tubuh yang kupinjam dari negeri senja ini, kini terkapar dalam kerinduanmu, Kekasih. Dalam rinai tangismu yang jauh, aku tak kuasa mengusir rasa sakit yang tak kupesan ini.”
Lalu aku bertanya pada siapa ia berkata. Lantas ia tersenyum.
“Ini untuk Tuhan, aku menyampaikannya melaluimu! Biar rasa perih ini sedikit menjadi masa lalu yang tercatat sebagai sejarah kehancuran.”
“Jalan itu masih panjang, seperti bentangan rindu yang tak pernah kau temukan!” jawabku lebih lirih.
“Ah, panjangnya kerinduanku takkan ada yang mampu mengukurnya. Bilangan pun tak mampu menghitungnya, juga cahaya yang dipakai menghitung jarak matahari dengan planet tak berani memprediksi berapa tahun cahaya untuk menjangkau kerinduan itu.”
“Lantas di mana letak kerinduanmu berujung?”
“Pada nol kilometer, dari Tuhan.” Jawabnya lantas mengucapkan selamat malam lewat senyumannya yang mengukir waktu.
“Senja telah hampir menua, perjalananku menuju peraduan lelah yang ditunggui ibu cukup memakan waktu. Aku harus pergi!”
“Pergilah selagi angin masih membaca langkah-langkahmu! Selamat malam dan berhati-hatilah dengan jelaga!”
Ia pergi meninggalkan senja. Dibawa angin melewati kabut, menembus malam. Di bawah bulan sajak-sajak berlabu pada jiwanya. Pada setiap nafasnya. Bintang menaruh mimpi, lantas kerinduan itu berlabu di kegelisahan ibunya.
Sepanjang perjalanan itu ia bercerita tentang kisah cinta yang terlunta. Bibirnya yang mendelima merebut bebintang sebagai harta malam paling sunyi. Disimpannya satu-persatu dalam tas gendong yang memeluk erat punggungnya.
“Nasib cintaku seperti angin malam kebisuan, tersangkut di ranting-ranting gelisah, tangan-tangannya terbelenggu jelaga yang menepikan segenap sunyi. Maka segala daya murung memenjarakan tangis.” Ucapnya pada awan yang masih saja menyembunyikan sisa-sisa senja.
“Aku datang padamu malam ini seperti kereta malam yang melengkingkan tangis. Di bawah bulan sepi itu memeluk tubuhku. Merajang. Menelantarkanku dari belaian sukmamu. Seperti sunyi aku tersesat. Dedaun berjatuhan di tepian luka. Pohon-pohon meranggas. Berjalan melintasi rel-rel kepedihan. Meraung, Menyayat perih.” Ucapnya pada ibunya yang menantikan kedatangan itu.
“Kau pulang dengan selamat, Nak. Kegelisahan Ibu selalu melindungimu.” Sahut Ibunya sambil mengusir dingin lewat handuk merah jambu miliknya. Segenap penat ia jatuhkan di pelukan ibu. Mimpi itu kambali menyapanya. Angan-angan itu hadir ditengah-tengah kerinduannya.
“Ibu melihat seberkas cahaya mencoba memaksa masuk ke dalam hatimu. Ada seseorang yang berani memaksa menyapa hatimu. Dalam matanya terpancar seberkas cahaya merah jambu, terus memanggilmu. Hal apa yang mungkin bisa memberimu gelagat?” Ibunya berkata lagi setelah menatap tajam-tajam.
“Segala yang Ibu lihat adalah kesungguhan. Ia ingin memeluk hatiku erat seperti pekat malam merengkuh sunyi, tapi penantiannya membeku. Seluruh darah dalam tubuhnya pun membeku. Sebelum sepi melaut di pangkuannya, ia ingin mencabut warna senja pada mataku, lalu ia mengikatkan benang merah jambu pada hatiku dan berujung pada hatinya. Katanya, dalam bentangan itu ia akan menaruh kata-kata dan sebaris mimpi agar dunia tahu ia telah melukis sebuah perjalanan menuju taman Firdaus.”
“Lantas apa yang kau lantunkan untuk menjawab keinginan itu?”
“Arti malam bagiku adalah keheningan, Ibu, Tempat bintang menari dan bulan menyanyikan kerinduan. Tak ada yang kurindukan selain belaian abadi. Aku takkan jatuh cinta lagi. Aku takut Ia akan menjadi pertapa paling sunyi. Samadi di dalam ruang yang samar-samar dalam jiwaku. Setiap datang malam, aku akan mengingat-Nya sebagai cahaya yang sinarnya terpantulkan kembali. Sedang sinar mentari akan tetap sebagai cahaya sekalipun bertepi di dasar samudera.” Jawabnya tanpa meragukan sesuatu apapun.
“Begitu pengkuh pendirianmu, nak. Bukankah dalam hidup ini Kekasihmu telah menyediakan untukmu dari jiwa yang sama dengan jiwamu. Kau akan bersamanya menelusur jalan yang telah dibentangkan-Nya. Kau tak bisa sendirian.”
“Kesendirianku adalah keramaianku, Ibu.”
“Tapi takkah kaulihat orang-orang di sekelilingmu saling menebar senyum dengan kekasih-kekasihnya?”
“Kekasih-kekasih yang mana Ibu katakan itu?”
“Kekasih yang selalu bersamanya. Kekasih yang menjaganya dari hingar-bingar dunia. Kekasih dalam suka duka.”
“Takkah Ibu tahu siapa kekasih yang memiliki ciri-ciri seperti yang Ibu katakan itu. Kekasih-kekasih yang Ibu lihat sebagai sesorang yang melindungi dari hingar-bingar dunia adalah wakil dari Kekasih Maha Kekasih, seperti Ayah yang mengasihi Ibu. Apakah ia selalu ada menemani Ibu? Terasakah kehadirannya saat ia tengah jauh dari Ibu kini? Ayah kembali berkasih dengan buku-buku baru, dengan angin baru dan berada di sekeliling jiwa-jiwa baru. Tapi Kekasih Yang Maha Kekasih, selalu bersamaku, Ibu. Tak sedetik pun Ia meninggalkanku, melepaskanku dari dunia ini. Ia terus bersamaku, Ibu, dan semakin dekat. Kerinduanku semakin bertambah dan semakin menghilang. Ia akan datang, Ibu. Aku akan bersamanya.” Ucapnya panjang lebar. Matanya terus berkaca-kaca. Kemudian air mata itu jatuh mewakili rasa kebahagiaannya yang masih bernama harapan.
“Ada sesuatau yang kau rasakan sakit di dirimu, nak, hingga kau terlihat terbelenggu?”
“Tidak, Ibu. Aku merasa kerinduanku kian terjawab.”
“Tak semestinya kau berkata tentang kerinduan, anakku.”
“Ya, Ibu. Kerinduanku kian sirna. Aku merasa Ia kian dekat menemaniku. Ibu.....” jawabnya dengan nada yang makin melirih. “Aku ingin mengatakan suatu hal; keluarkan aku dari sebuah ruang asing dalam diri seseorang yang terus memanggilku dengan cahaya yang kuat itu. Karena aku tak bisa melangkah di pelukan cahayanya.” Tuturnya semakin berdesah.
Ibu mendekat.
Ia memejamkan mata. Tangannya merengkuh tubuh Ibunya. Ia tersenyum dengan mata masih memejam. Tiba-tiba baju yang membungkus tubuh dibagian punggungnya robek dan keluarlah sepasang sayap putih seperti yang dimiliki para malaikat. Pelukan Ibunya semakin erat. Semakin merapat kedua tubuh itu, namun semakin tak berkuasa Ibunya memeluk tubuh itu. Seperti detik waktu, ia terbang meninggalkan Ibunya. Menembus atap rumahnya tanpa merusaknya. Menemui bebintang. Tubuh semampai itu menari-nari di hamparan awan dan taman impian. Bulan yang dihampirinya bermetamorfosis menjadi mahkota, lantas hinggap di atas rambutnya. Melayang. Meninggalkanku.
Aku berteriak memanggil namanya, lantas aku pun berlari entah mengejar ke mana. Yang kuikuti adalah pancaran senyumnya yang kian menerang.
Selasa, 14 Februari 2012
Perry Pebrianto
EXOTIS DI BULAN MEI
( untuk: Fitria)
melangkah menuju rumahmu
aku temukan sebait rindu dalam tekadmu
saat peluh menebar dalam sekujur tubuh
dan roda zaman telah membatu dalam putaran waktu
sementara itu,aku menjelma menjadi seekor burung garuda dan membawamu mengelilingi lautan,
gunung - gunung,gedung- gedung,hotel, dan menembus cakrawala
untuk mencari waktu
namun,apa yang aku ketahui??
kau terus saja berbisik rintik memuncak di telingaku
saat hasrat tak juga bergeming
"Di manakah sesungguhnya waktu itu berada?" teriakmu.
dalam diam, aku meyerupai wajahmu
memberiku sebongkah senyum untuk bunga bunga mawar yang luka
SAGULING, 2010
Perry Pebrianto
PEREMPUAN ENTAH UNTUK SIAPA!
Matamu menyimpan fatamorgana
Dalam setiap khusuku
Ketika kerinduan yang begitu nyata menafsirkan
Ancaman bagi hasratku
Jauh sekali tak tertembus, suaraku kandas
jalan menuju ke hatimu berlapis ruang kosong
siapa mampu menyebrangi kehampaan yang dasyat
tanpa mengubah rencana
aku ingin berbisik syahdu di telingamu
dan menerjang seribu kata kata di lekuk tubuhmu
mari kekasih !!
kita tuangkan sejenak kerinduan di ranjang
yang bergolak , di air yang keruh
agar semakin jelas topeng kehidupan
yang bersembunyi di selangkanganmu
mari kekasih!!!!!
Dan sementara itu
kau hanya memandangi kain sangsaka merah putih yang lusuh di jendela kamarku
tanpa isyarat
tanpa paksaan
merangkul tubuh dan genggaman tanganku
Perry Pebrianto
PERJALANAN
Jalan setapak itu masih terpahat dalam irama bimbang
Nyanyian burung pipit
dan tarian padi yang tinggal di tandur
membentur al’manaq ku
menjelajahi angin yang berbisik syahdu
melarikan kisah ke masa kanak- kanak dulu
bermain petak umpet , gobag sodor, galah, pecle, sumput beling , loncat tinggi
serta berenang di kali yang bening
kini kesunyian ku bertambah
menjadi protes pada angin
udara
matahari
bintang-bintang
bulan
gunung-gunung dan lautan
dan sementara itu pasokan kemasan serba mewah,serba canggih,serba ke enakan
meng-EJAKULASI-kan INDONESIA dengan daya tahannya
Tasikmalaya,2010
SEBATU RINDU
SEBATU RINDU
Kepada tri wahyuni
Dalam bimbang, malam tak lagi bermadah
Matamu berlapis kerinduan
Hanya jejak dan bisikmu membasuh luka
Meski itu terdengar di dinding peluhku
Di pekarangan sunyi, kau sempat memberi cahaya kemilau
Pada rumput, tenda-tenda, angin, serta tanah
yang terlahir sejarah
Dalam gelap, genggaman tanganmu masih sebatu rindu
Menyusuri kata tak menjadi dosa
Bertaburlah doa-doa di pekarangan itu
Melupakan keutuhan dan kesetian tekadnya
sanggar 28, 2010
Perry Pebrianto
PERJALANAN
Di sela nafas menyendat
simpe masih peraduan fatamorgana
ribuan kunang-kunang
menggeliat di pusaran air mata yang menyimpan duka
sorak gemuruh pesta ramai menampar luka para pendosa?
ada sendu di dalamnya
dan kesenduan paling ada, adalah aku
yang menjelma angin
memaparkan rindu pada dinding malam yang merayap di buku-buku
SANGGAR 28, 2010
LEMA SENJA 2
PERRY PEBRIANTO
Cahaya-MU
Kau kabarkan duka
sewaktu peraduan
menghimpit usia
yang hampir menua
Lalu kau ikrarkan pada kata keabadian
di din-ding beton,
langit-langit kamar,
sandal jepit,
celana dalam,
serta curahan hujan yang mengukir penerang
di pucatnya malam kehangatan
Di genangan air mata
ku temukan sejarah yang terlunta
sebab katamu :
“Aku hanya mengikuti alur yang telah di ciptakan-Nya”
Dalam diam
penerang itu menghilang
meninggalkan jejak yang membatu
dalam aroma waktu
BERANDA 57 22-02-2011
LARUT
Diujung lentera
Angin ribut bersaut
Pelan-pelan
Rautmu telah menjadi awan
Diam dan temaram
Sudah habis disini
Sampai larut airpun surut
2011
LEMA SENJA
PERRY PEBRIANTO
LEMA SENJA
Untuk: Fitria Indra Rani
Ada buih dalam paras yang tak bernada
Saat senja memaksa untuk berkata
Ku lelangkan setiap air mata
Dalam keinginan menempuh luka
Maafkan aku ia!!
Sungguh hasrat mengalir darah yang parah
Pahami goresan-goresan setiap langkahmu, merapuh
Menepi di setiap sukmaku
Hingga keabadian kata memaksamu abadi
Tak berucap untuk mendampingi
Walaupun uraian hidup
Mengisahkan penyesalan tak bertepi
Di ladang hati
24-01-2011
DIAM
Diamlah,
sebab aku telah mengharapmu
tanpa kata-kata
Sebab aku terlanjur memimpikanmu
dalam kekosongan bahasa
Tetaplah diam,
karena aku terbiasa merindumu pada kebisuan purnama
Karena aku selalu meminang bayanganmu dalam gelap
Yang menasbihkan bintang-bintang
pada ke-khusyuan malam
Tak usah bicara,
sebab diam telah menjadi jalan untuk mencintaimu
Sebab diam,
adalah pilihan untuk memilikimu
09-03-2011
PERJALANAN WAKTU 2
PERRY PEBRIANTO
PEREMPUAN ITU
Sisa senja telah merona di cadas wajahmu
bahkan setiap rinai tangismu , serupa mawar mengakar
menggeliat dalam dada
memasuki gundukan hati yang pilu
Sayang, biarkan lentera kita tetap menyayat
sebab kehidupan tak selamanya menyalahkan waktu
2011
PERRY PEBRIANTO
JARAK
Waktu senja sudah mampir di pelartaran rindu, sayang!
di tempat itu gerimis menjadi kawan bahkan lawan
selebihnya candu disetiap rinai tangismu
melukis hati yang rapuh
Sementara daya nalarku untuk mengukir namamu terlalu mengakar
dan ku biarkan langit langit hati meranggas
dengan sendirinya. Di dalam suku kata, ku temukan bayang-bayang wajahmu
serupa jarak menjadi bait-bait tak berirama pada nada.
BEBEDAHAN, 2011.
PERRY PEBRIANTO
PULANG
Mengukir waktu yang dungu
serupa resah nampak tak berarturan di cadas wajahmu
bahkan wewangi melati telah ku karamkan pada lekuk tubuhmu
merajut tirai jendela yang lusuh
PURWOKERTO, 2011
Langganan:
Komentar (Atom)